BACAAJA, SEMARANG- Kalau tiap musim hujan datang, warga Semarang bawah sudah tahu apa yang bakal terjadi. Air naik, jalan tergenang, dan aktivitas lumpuh. Pompa air boleh siaga, tapi tetap aja, genangan nggak hilang-hilang.
Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah bilang, akar masalahnya bukan di situ. Banjir Kaligawe itu bukan cuma karena curah hujan tinggi. Tapi karena lanskap tata ruang kita rusak parah, dari hulu sampai hilir.
Pengurus Walhi, Dera mengungkap, sejak tahun 1970-an citra satelit udah nunjukin perubahan besar-besaran di Semarang bagian utara. Wilayah yang dulunya jadi daerah resapan air kini berubah jadi kawasan industri, permukiman, dan proyek-proyek besar. Padahal tanah daerah situ aluvial yang gampang amblas.
Ikut Bablas
Masalahnya nggak cuma di pesisir. Dera bilang, di bagian hulu juga nggak kalah rusak. Air dari daerah atas Semarang dan sekitarnya ngalir deras lewat Banjir Kanal Timur (BKT) dan Kali Babon, tapi salurannya sekarang banyak yang mampet.
“Gorong-gorong, irigasi, drainase banyak yang ditutup bangunan. Air akhirnya nggak punya jalan keluar,” tambahnya. Jadi wajar kalau tiap hujan besar, Semarang bagian bawah langsung kebanjiran.
Air dari atas nggak tertahan, dari bawah pun nggak bisa keluar. Akibatnya? Ya banjir langganan tiap tahun. Padahal, kata Walhi, Pemprov Jateng pernah janji mau fokus ke pengendalian lingkungan. Tapi realitanya, berbagai proyek ekonomi yang menguras sumber daya alam masih terus dikasih karpet merah.
“Kota Semarang dan Kabupaten Demak bahkan masih dimasukkan ke program pengembangan kawasan industri. Artinya, pembukaan lahan baru bakal terus terjadi,” kata Dera, Kamis (30/10).
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jateng pun, topik soal kebencanaan cuma disentuh sedikit banget. Buat Walhi, itu bukti kalau pemerintah masih lihat pembangunan dari kacamata ekonomi jangka pendek, bukan dari keberlanjutan lingkungan. Bencana itu bukan datang tiba-tiba. Dia lahir dari kebijakan yang salah arah.
Lima Rekomendasi
Walhi Jateng nyusun sederet rekomendasi buat pemerintah daerah. Biar nggak terus ngulang kesalahan yang sama. Dera bilang, ini bukan sekadar kritik, tapi panduan supaya kebijakan ke depan lebih berpihak pada alam dan warga.
Pertama, tinjau ulang kebijakan tata ruang. Khususnya yang berhubungan dengan ekonomi ekstraktif di kawasan hulu. Jangan semua lahan produktif dijadikan kawasan industri.
Kedua, fokus ke akar masalah. Bukan cuma bangun pompa atau tanggul. Tapi juga batasi dan tutup proyek-proyek yang merusak kawasan resapan air. Tiga, pulihkan fungsi kawasan hulu. Kawasan ini harus dikembalikan jadi daerah resapan dan lindung. Bukan jadi ruang ekspansi ekonomi.
Empat, buat kebijakan lintas daerah. Bencana itu nggak kenal batas administratif. Jadi, penanganannya juga harus regional, bukan sektoral. Terakhir, stop kebijakan teknikal semata. Mitigasi bencana jangan cuma urusan proyek infrastruktur. Tapi juga perubahan sistem yang lebih ramah lingkungan.
Kalau lihat daftar rekomendasi itu, jelas banget bahwa Walhi pengin pemerintah berpikir ulang soal arah pembangunan. Karena selama pendekatannya cuma “teknis” dan “reaktif”. “Bencana bukan takdir alam. Dia diproduksi dari kebijakan yang keliru,” tegas Dera.
Secara matematis, rekomendasi Walhi memang tidak bisa langsung selesein masalah banjir Semarang. Sebab, ini merupakan strategi jangka panjang. Jika diterapkan, dalam jangka lima tahun ke depan akan kelihatan dampaknya. Dalam waktu yang lebih lama, ini bisa jadi solusi jitu.
“Kalau pemerintah mau serius menjalankan rekomendasi kami, 10 sampai 15 tahun lagi, Semarang akan bebas banjir,” tegasnya. Namun pertanyaan besarnya, apakah pemerintah mau menjalankan rekomendasi Walhi? (bae)


