BACAAJA, PURWOREJO — Kisah miris datang dari seorang siswa SMK Pembaharuan Purworejo. Gara-gara belum bisa melunasi uang sekolah, siswa ini dilarang ikut ujian.
Lebih sedih lagi, dia sempat diusir ke ruang perpustakaan saat ujian berlangsung.
Di perpus cuma bisa duduk diam tanpa kegiatan. Akhirnya keesokan hai memilih nggak datang ke sekolah lagi.
Ibunya, Tri Wahyuni, menceritakan pengalaman pahit itu dengan nada kecewa.
“Anak saya datang ke sekolah, tapi malah disuruh ke perpustakaan, nggak boleh ikut ujian. Mereka cuma duduk aja di situ,” cerita Tri, Jumat (17/10/2025).
Tri bilang, keluarganya sebenarnya lagi berusaha buat nyicil tunggakan sekolah, tapi pihak sekolah nggak kasih kelonggaran.
“Saya minta supaya bisa diangsur, tapi nggak diizinkan. Disuruh cari pinjaman malah. Kurang Rp100 ribu aja udah nggak boleh ikut ujian,” keluhnya.
Yang bikin tambah sedih, pihak sekolah bahkan sempat memperingatkan orang tua agar nggak cerita ke media, karena takut anaknya dikeluarkan.
Anak Tri, sebut saja H (16), adalah siswa berprestasi — selalu juara sejak kelas X. Tapi setelah kejadian itu, H memilih nggak datang ke sekolah.
“Malu, terus mau ngapain ke sekolah?” katanya pelan.
Kepala SMK Pembaharuan, Sugiri, membenarkan kebijakan itu. Ia bilang, keputusan ini datang dari yayasan, karena kondisi keuangan sekolah sedang “sulit”.
“Siswa yang belum bayar memang tidak boleh ikut ujian, biar orang tua cepat melengkapi administrasi. Kalau belum bisa, anaknya diistirahatkan dulu,” jelasnya.
Tapi, jawaban itu justru bikin banyak pihak geram.
Apalagi, siswa-siswa yang belum bayar dianggap “mengundurkan diri otomatis” kalau tak melunasi biaya sampai 18 Oktober 2025 — seperti tertulis di surat edaran sekolah.
Kebijakan ini langsung disorot publik dan pemerintah daerah.
Bani Mustofa, pengawas SMK Purworejo, bilang langkah sekolah ini nggak manusiawi dan malah bisa bikin siswa putus sekolah (ATS).
“Seharusnya bisa dicari solusi bersama. Kalau anak-anak dikeluarkan, mereka jadi ATS, dan itu malah tanggung jawab pemerintah,” katanya.
Sementara itu, Maryanto, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Jateng, juga menegaskan bahwa alasan ekonomi nggak boleh jadi penghalang anak buat belajar.
“Pendidikan itu hak dasar setiap anak. Urusan bayar sekolah itu tanggung jawab orang tua, bukan anak,” tegasnya.
Ia juga memastikan kasus ini bakal ditelusuri dan ditindaklanjuti.
Sekolah melunak setelah viral
Setelah kasus ini ramai diberitakan, pihak yayasan akhirnya melunak dan bilang akan memberi kesempatan ujian susulan bagi siswa yang masih menunggak.
Meski begitu, kasus ini tetap meninggalkan pertanyaan besar.
Kenapa sekolah yang seharusnya jadi ruang belajar, malah berubah jadi tempat menekan anak-anak yang sedang berjuang?
Bagaimana menurut Sobat Bacaaja? (*)