BACAAJA, – New York jadi panggung pertama Presiden Prabowo tampil di level dunia. Dalam Sidang Umum PBB, Selasa (23/9/2025), ia naik podium dengan tema pidato “Seruan Indonesia untuk Harapan.” Judulnya mungkin puitis, tapi isinya jelas: Prabowo ingin bikin Indonesia terdengar sebagai suara moral, suara Global South, sekaligus negara yang siap turun langsung di lapangan.
Pidato ini nggak sekadar basa-basi diplomatik yang biasanya dingin dan penuh angka. Prabowo hadir dengan gaya khasnya: intonasi tegas, gestur mantap, bahkan sesekali berapi-api ketika membahas penderitaan manusia. Sorotan utama? Palestina.
Prabowo menegaskan bahwa Indonesia hanya akan mengakui Israel jika Israel lebih dulu mengakui Palestina sebagai negara merdeka dan berdaulat.
Pernyataan ini langsung jadi headline, karena jarang ada pemimpin dunia yang ngomong setegas itu di forum internasional.
Tapi isi pidato nggak berhenti di Palestina. Prabowo mengikat banyak isu global: transisi energi, swasembada pangan, reforestasi, sampai tawaran konkret berupa kesediaan Indonesia menyumbang pasukan perdamaian PBB.
Ia juga menghubungkan pengalaman sejarah Indonesia sebagai bangsa bekas jajahan dengan solidaritas untuk negara-negara yang masih berjuang melawan penindasan. Dengan kata lain, Prabowo mencoba narasi: “Kami tahu rasanya ditindas, jadi kami berdiri bersama kalian.”
Strateginya jelas: Prabowo ingin bikin Indonesia bukan cuma “penonton” di kancah global, tapi pemain yang berani bersuara sekaligus menawarkan solusi.
Namun, di balik gemuruh pidato itu, ada sejumlah catatan strategis yang nggak bisa diabaikan. Pertama, risiko kesenjangan antara retorika dan aksi. Menyebut siap kirim pasukan perdamaian, misalnya, butuh anggaran, logistik, dan persetujuan internasional. Kalau janji nggak segera ditindaklanjuti, bisa muncul kritik bahwa pidato ini cuma “show diplomasi.”
Kedua, diplomasi keseimbangan. Pernyataan soal Israel–Palestina sebenarnya posisi moderat: bukan menolak total, tapi memberi syarat moral. Namun, posisi ini bisa dibaca beda: pro-Palestina garis keras bisa merasa syarat itu “terlalu lembek,” sementara Israel dan sekutunya mungkin melihatnya sebagai tekanan. Artinya, pemerintah Indonesia perlu diplomasi tingkat tinggi biar posisi ini nggak salah tafsir.
Ketiga, Prabowo mencoba branding Indonesia sebagai pemimpin Global South. Dengan menyinggung isu pangan, energi hijau, dan solidaritas negara berkembang, ia ingin Indonesia dilihat sebagai “aktor utama” bukan hanya figuran. Tapi untuk benar-benar dipercaya, Indonesia harus konsisten. Kalau di forum dunia bicara transisi energi tapi di rumah masih bergantung pada batu bara, publik global bisa sinis.
Gaya komunikasinya sendiri jadi sorotan. Dengan pidato emosional dan penuh gestur, Prabowo berhasil mencuri perhatian. Namun gaya terlalu “blak-blakan” bisa bikin beberapa negara merasa terusik. Tantangannya adalah menjaga keseimbangan: cukup kuat untuk didengar, tapi tetap diplomatis biar pesannya diterima luas.
Lalu, apa implikasi buat Indonesia ke depan? Ada beberapa:
- Aksi nyata penting banget. Dari roadmap energi hijau sampai regulasi pasukan perdamaian, semuanya harus cepat dirumuskan.
- Diplomasi intensif. Setelah pernyataan keras di panggung PBB, kerja di belakang layar bakal lebih berat.
- Komunikasi publik. Rakyat di dalam negeri perlu tahu bahwa pidato ini nggak cuma soal wibawa global, tapi juga ada dampak buat kehidupan mereka.
- Citra Indonesia sebagai penengah. Kalau konsisten, Indonesia bisa naik kelas jadi mediator di konflik global, bukan sekadar pengikut arus.
Kesimpulannya, pidato Prabowo di PBB jelas jadi momen penting. Ia berusaha memotret Indonesia sebagai negara yang berani bicara, punya kredibilitas moral, sekaligus siap kasih solusi konkret. Tapi, dunia internasional dan rakyat Indonesia sama-sama bakal menunggu: apakah ini awal dari langkah nyata, atau sekadar pidato yang meriah di podium megah New York.(*)