BACAAJA, YOGYAKARTA – Masalah sampah di Yogyakarta makin panas sejak TPA Piyungan resmi ditutup pada 2024. Sampah numpuk di mana-mana, bikin banyak orang gerah. Dari situ, muncul gagasan segar dari sekelompok mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) yang lagi cari cara baru ngatur sampah, tapi berbasis desa.
Tim ini berasal dari Jurusan Politik dan Pemerintahan. Mereka terdiri dari Muhammad Thoriq Nailul Author, Pradipta Arya Arsensa, Fata Rozin Jahfal, dan Peter Gabriel Taiyoo Karnodipuro. Riset ini mereka kerjakan di bawah arahan Nur Azizah, dosen Fisipol UGM.
Tujuannya simpel tapi ambisius: nyari model pengelolaan sampah yang nggak cuma efektif, tapi juga berkelanjutan. Fokus penelitian mereka ada di dua desa, Panggungharjo (Bantul) dan Sinduadi (Sleman).
Belajar dari Dua Desa
Panggungharjo dikenal kuat dengan modal sosial. Gotong royong dan partisipasi warga jadi kunci desa ini mengurangi jumlah sampah yang dikirim ke TPA. Warganya aktif urunan, nyortir sampah, dan nyoba bikin sistem pengolahan sendiri.
Sementara Sinduadi punya gaya beda. Mereka lebih condong menggandeng pihak swasta. Ada kerjasama dengan PT Hayuning Bhumi Makmur dan PT DUI untuk ngurus sampah organik. Strateginya bikin pengelolaan jadi lebih profesional, meski tantangan dari sisi aturan dan penerimaan masyarakat masih ada.
“Dua model ini sama-sama menarik. Kami ingin cari kemungkinan ngombinasikan keduanya,” kata Thoriq saat ditemui di Kampus UGM, Jumat (3/10).
Tantangan yang Muncul
Riset awal nunjukin kalau Panggungharjo unggul di partisipasi sosial, tapi gampang goyah kalau iuran warga menurun. Sementara Sinduadi stabil berkat swasta, tapi regulasi dan trust masyarakat jadi PR besar.
Makanya, tim ini lagi nyusun model hibrida: gabungin partisipasi komunitas dengan inovasi bisnis. Dengan cara ini, desa nggak terlalu bergantung ke satu pola.
“Kalau bisa jalan, desa nggak cuma bebas dari masalah sampah, tapi juga bisa dapet nilai ekonomi,” jelas Peter Gabriel Taiyoo Karnodipuro.
Lebih dari Sekadar Teknis
Menurut tim, urusan sampah bukan cuma soal teknis. Ada aspek sosial, ekonomi, bahkan politik yang ikut main di dalamnya.
“Lewat riset ini, kami pengen nunjukin kalau desa bisa jadi aktor penting. Pengelolaan sampah harus inklusif, adil, dan ngelibatin semua pihak,” ungkap Pradipta Arya Arsensa.
Metode yang mereka pakai juga serius. Observasi langsung ke lapangan, wawancara mendalam, sampai pakai analisis PESTLE (Political, Economic, Social, Technological, Legal, Environmental) buat ngukur faktor eksternal.
Harapan ke Depan
Hasil akhir penelitian ditargetkan bisa berupa policy brief, artikel ilmiah, laporan resmi, sampai konten media sosial. Semuanya disiapkan biar rekomendasi yang muncul bisa dipakai pemerintah daerah maupun desa lain di Indonesia.
“Kami berharap penelitian ini jadi kontribusi nyata mahasiswa untuk solusi lingkungan yang berkelanjutan. Desa punya potensi besar, tinggal gimana sistemnya dibangun biar semua pihak bisa terlibat,” tambah Fata Rozin Jahfal.
Dengan pendekatan ini, sampah nggak cuma dilihat sebagai masalah, tapi juga peluang. Kalau desa bisa kelola dengan tepat, dampaknya bisa bikin lingkungan lebih bersih sekaligus nambah manfaat ekonomi buat warganya. (*)