BACAAJA, JAKARTA – Ketika beli air minum dalam kemasan, kebanyakan orang percaya aja sama gambar gunung yang terpampang di label. Pegunungan yang sejuk, air yang murni, dan klaim alami yang terdengar manis di telinga. Tapi, bagaimana kalau ternyata air itu bukan berasal dari sumber yang seperti dijanjikan?
Anggota Komisi XIII DPR RI, Mafirion, lagi-lagi mengingatkan bahwa industri air minum dalam kemasan butuh pengawasan yang makin ketat. Pernyataannya muncul setelah Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menemukan fakta menarik saat sidak ke pabrik Aqua di Subang. Air yang dijual dengan imej pegunungan alami diduga ternyata cuma berasal dari sumur bor.
“Kalau yang diklaim air pegunungan, tapi ternyata air tanah, ini jelas menyesatkan. Konsumen berhak tahu apa yang mereka minum setiap hari,” tegas Mafirion, Sabtu (25/10/2025).
Menurutnya, isu ini bukan cuma soal iklan menipu atau ekonomi yang dirugikan. Tapi juga menyangkut hak asasi manusia dan hak warga negara yang diatur dalam UUD 1945. Hak atas informasi yang benar dan lingkungan hidup yang sehat, kata Mafirion, tak boleh diganggu gugat.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, pelaku usaha dilarang keras memanipulasi info soal asal atau mutu produk. Mafirion menilai, aturan udah ada tapi pengawasannya masih longgar kayak tutup galon yang nggak rapat.
“Konsumen butuh transparansi. Kalau ada perusahaan yang klaimnya beda jauh sama kenyataan, pemerintah wajib turun tangan,” lanjutnya.
Makanya, Komisi XIII bakal mendorong pemerintah dan lembaga pengawas buat memperkuat sertifikasi dan pengawasan label produk. Biar nggak ada lagi brand yang mengandalkan gambar gunung cuma buat terlihat premium.
Di sisi lain, temuan Dedi Mulyadi ikut bikin publik khawatir soal dampak lingkungan. Air tanah yang ditarik besar-besaran bisa bikin bencana yang diam-diam datang: penurunan muka tanah, longsor, sampai ancaman krisis air.
Saat sidak itu, Dedi menemukan bahwa air yang dipompa dari kedalaman 100 sampai 130 meter mencapai sekitar 2,8 juta liter per hari. Banyak banget dan gratis pula, karena perusahaan nggak beli bahan bakunya dari alam.
“Kalau pabrik lain harus keluar biaya buat bahan produksi, perusahaan air ini tinggal nyedot aja,” ucap Dedi dengan ekspresi yang sulit disembunyikan.
Dari sini muncul pertanyaan besar:
Apakah selama ini kita membeli air murni dari gunung, atau hanya membeli kepercayaan yang dibungkus rapi dalam botol bening?
Masyarakat menunggu tindak lanjut. Konsumen ingin jaminan. Dan bumi tentu tak ingin terus-menerus disedot diam-diam. Sekarang saatnya semua lebih jujur. Karena seteguk air pun punya cerita, dan cerita itu sudah seharusnya benar. (*)


