BACAAJA, JAKARTA– Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB-P2) sebenarnya terjadi di 104 daerah se-Indonesia. 20 daerah diantaranya, kenaikannya lebih dari 100 persen. Kebijakan kenaikan ini, 95 persen terjadi di masa jabatan kepala daerah dipegang Penjabat (Pj).
Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya Sugiarto menegaskan bahwa kebijakan kenaikan PBB-P2 itu bukan dampak dari kebijakan efisiensi pemerintah pusat di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto. Kebijakan efisiensi anggaran sendiri baru diluncurkan presiden pada awal 2025.
“Dari 104 daerah yang mengalami kenaikan PBB, hanya tiga di antaranya yang baru menetapkan kebijakan tersebut di tahun 2025. Sisanya sudah lebih dulu diputuskan, termasuk ada yang dirumuskan oleh penjabat kepala daerah,” ujar Bima Arya di Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Wamendagri juga menanggapi munculnya protes keras masyarakat di sejumlah daerah –termasuk Pati, Jawa Tengah dan Bone- terhadap kenaikan PBB tersebut. Menurut Bima, demo besar penolakan kenaikan PBB yang terjadi lantaran minimnya sosialisasi dan ketidakcermatan pemerintah daerah setempat dalam mengukur kemampuan masyarakat.
Seperti yang terjadi di Pati Jawa Tengah pada 13 Agustus 2025, kemudian disusul Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan pada 19-20 Agustus 2025. Narasinya sederhana: warga marah karena pajak disebut naik sampai ratusan persen.
Bukannya meredam, Bupati Sudewo justru bikin video “ngegas” yang memantik amarah. Hasilnya? Kantor pemerintahan digeruduk, DPRD langsung pasang mode serius dengan membentuk Pansus Hak Angket buat membuka jalan pemakzulan. Pati pun jadi headline nasional: “daerah pertama ricuh gara-gara PBB.”
Tak butuh waktu lama, pola yang sama muncul di Bone, Sulawesi Selatan, warga turun ke jalan pada 19–20 Agustus, bentrok pecah, aparat dan Satpol PP terluka. Lagi-lagi, narasi “naik 300 persen” telanjur viral. Bedanya, Pemkab Bone buru-buru klarifikasi: angka itu hoaks. Faktanya, kenaikan hanya sekitar 65 persen. Tapi nasi sudah jadi bubur, demo terlanjur rusuh.
Kalau dilihat, baik Pati maupun Bone punya benang merah. Pertama isu PBB naik besar-besaran, lalu komunikasi yang dilakukan pemerintah daerah buruk, dibumbui berita-berita di media sosial, dan terakhir terjadi kerusuhan, sampai isu bergulir menjadi pemakzulan kepala daerah.
Menuju Pemakzulan Presiden?
Sebagian besar kebijakan itu ternyata lahir di masa kepemimpinan Pj Kepala Daerah. Sebagaimana diketahui, Pj kepala daerah untuk Gubernur diangkat langsung oleh Presiden lewat usulan Mendagri. Sementara Pj Bupati atau Walikota, diangkat oleh Mendagri dengan pertimbangan dari Gubernur dan konsultasi DPRD.
Artinya? Ketika Pj bikin kebijakan kontroversial, gampang banget diasosiasikan sebagai “pesanan pusat.” Padahal secara hukum, Pj memang punya kewenangan penuh setara kepala daerah definitif.
Maslahnya, Pj tidak dipilih rakyat, sehingga legitimasinya tipis. Begitu ada kebijakan nggak populer, publik langsung nyinyir: “Wajar, ini titipan Jakarta!” Nah, sentimen kayak gini yang gampang dipakai buat mobilisasi massa.
Dari Pati ke Bone, dari isu pajak ke narasi politik. Belakangan muncul isu liar, kisruh PBB ini sengaja digoreng buat menuju target yang lebih besar, yaitu pemakzulan Presiden Prabowo Subianto.
Tapi secara konstitusional, itu hampir mustahil dalam jangka pendek. Jalurnya panjang: DPR ke Mahkamah Konstitusi dan MPR. Harus ada tuduhan berat semacam pengkhianatan negara atau korupsi besar. Sementara yang konkret saat ini baru di level pemakzulan kepala daerah. Jadi, isu pemakzulan presiden masih lebih ke propaganda politik ketimbang realitas hukum.
Jadi Pati hanya menjadi pemantik, Bone menyusul kemudian, dan masih ada potensi di daerah-daerah lain yang juga terjadi kenaikan PBB-P2. Kalau akhirnya menjadi titik awal kerusuhan dan menjadi isu pemakzulan presiden, masih jauh panggang dari api. (*)
Baca yang penting! Yang penting Baca Aja!