BACAAJA, JAKARTA- Angka ini bikin merinding: dalam lima bulan terakhir, ada 55 kasus kekerasan polisi. Dari salah tangkap sampai brutalitas di aksi massa, catatan Kontras menegaskan—represi aparat bukan lagi insiden, tapi pola yang terus berulang.
“Dalam lima bulan terakhir kami mencatat setidaknya ada 55 korban kekerasan yang dilakukan polisi, baik dalam aksi massa, ruang pemeriksaan, maupun salah tangkap. Artinya, pola represif ini terus berulang tanpa ada koreksi dan evaluasi,” kata Dimas Bagus Arya, anggota Kontras, dalam konferensi pers di LBH Jakarta, Jumat (29/8).
Kontras menilai kekerasan aparat saat menghadapi massa bukan sekadar “kesalahan teknis”. Ada indikasi pembiaran negara yang membuat polisi merasa bebas menggunakan cara-cara keras untuk membungkam kritik masyarakat. “Ini pelanggaran HAM. Aparat seharusnya melindungi, bukan melukai,” tegas Dimas.
Kesan Pembiaran
Lebih parah lagi, Kontras juga menyoroti intimidasi dalam pemeriksaan, penangkapan sewenang-wenang, hingga salah tangkap sebagai pola yang terus dibiarkan. “Belum ada upaya koreksi dari kepolisian maupun lembaga negara. Pelaku dibiarkan bebas, dan itu yang bikin kekerasan berulang,” lanjutnya.
Tragedi terbaru: seorang driver ojek online, Affan Kurniawan tewas setelah terlindas rantis polisi saat pembubaran aksi di Jakarta, Kamis (28/8) malam. “Ini alarm serius. Negara kembali gagal menghormati HAM warganya,” ujar Dimas.
Kontras pun menegaskan bahwa kebebasan berpendapat dan berkumpul adalah hak konstitusional yang dijamin UUD 1945. Tapi di lapangan, aparat justru melanggar prinsip itu. “Negara hari ini melakukan pembiaran. Tidak ada mekanisme kontrol maupun akuntabilitas yang jelas. Inilah yang menyebabkan kekerasan terhadap warga terus terjadi,” pungkas Dimas. (*)