NARAKITA, JAKARTA- Pemerintah didesak untuk tidak lagi menjadikan target energi baru dan terbarukan (EBT) sekadar visi jangka panjang tanpa realisasi. Anggota Komisi VII DPR RI Ratna Juwita Sari menekankan bahwa percepatan pembangunan pembangkit EBT harus dimulai tahun ini guna mengejar target bauran energi nasional sebesar 35 persen sebelum 2030.
Ratna Juwita menegaskan bahwa saat ini Indonesia memiliki semua elemen pendukung yang diperlukan untuk mempercepat transisi energi, mulai dari teknologi, sumber daya alam, hingga komitmen politik. Karena itu, menurutnya, yang dibutuhkan kini hanyalah keberanian dalam kebijakan dan implementasi yang progresif.
“Kalau memang serius, pemerintah harus bisa mewujudkannya mulai tahun ini. Jangan terus-menerus menunda dengan dalih perencanaan jangka panjang,” kata Ratna dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (5/8).
Ia juga menyoroti urgensi pembangunan EBT sebagai bagian dari tanggung jawab nasional dalam menghadapi krisis iklim serta menjamin keberlanjutan energi bagi generasi mendatang.
Potensi Besar
Dengan potensi besar yang dimiliki Indonesia, seperti tenaga surya, panas bumi, air, angin, dan bioenergi. Ratna menilai negara ini seharusnya bisa jauh lebih progresif dalam membangun pembangkit ramah lingkungan.
“Selama ini justru energi fosil yang masih dominan dibangun, padahal kita punya sumber EBT yang sangat melimpah,” tambahnya.
Lebih lanjut, ia mengusulkan agar Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) dilibatkan secara aktif dalam percepatan proyek-proyek EBT. Selain itu, sinergi antara Kementerian ESDM, PLN, dan lembaga-lembaga terkait juga perlu diperkuat melalui kebijakan terobosan serta realokasi anggaran yang tepat sasaran.
“Kita tidak bisa lagi bekerja dengan pendekatan business as usual. Harus ada reformasi kebijakan energi nasional agar EBT benar-benar menjadi tulang punggung ketahanan energi kita,” tegas Ratna.
Ia berharap pemerintah segera menunjukkan langkah konkret dan terukur, agar visi besar transisi energi tidak berhenti hanya sebagai dokumen perencanaan tanpa implementasi nyata. (*)