BACAAJA, SEMARANG- Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Jatibarang dulu digadang-gadang jadi proyek strategis. Bisa jadi solusi ngurangi sampah sekaligus menghasilkan listrik.
Kenyataannya, proyek dengan teknologi gasifikasi itu justru mangkrak. Ia berhenti beroperasi sejak 2021 lalu. Pada akhir 2022, Pejabat TPA Jatibarang, Kota Semarang, Joko Hartono tak mengelak.
Dia mengklaim, mangkraknya PLTSa disebabkan minimnya pasokan sampah organik. “Kebutuhan sampah organik untuk diubah menjadi energi panas mencapai 9 ton. Sedangkan kita masih kekurangan suplainya,” ungkap Joko.
Pertanyaan besarnya, apakah proyek itu tak ada kajian dulu? Kalau ada, apakah tidak memperhitungkan sampah organik yang tiap hari masuk TPA?
Berdasarkan penelusuran data terbuka, proyek PLTSa telah melewati tahap studi kelayakan. Proyek dibangun secara bertahap, dimulai pada 2018. Peneliti dari Undip, Nurhadi dan tim mengurai, pada tahap awal, kapasitas generator gas terpasang sebesar 954 kilowatt. Semua tampak menjanjikan.
Munculnya Masalah
Begitu masuk uji akhir, masalah muncul. PLN minta uji ketahanan 3×24 jam. Tapi PLTSa Jatibarang hanya kuat 4 jam. Itu pun cuma di kapasitas 800 kilowatt. Setelah itu, gas langsung anjlok. Akhirnya, PLTSa hanya efektif beroperasi 200 kilowatt. Jauh dari target awal. Produksi listrik yang drop bikin operator mikir ulang jika terus dioperasikan.
Kenapa bisa jeblok? Penelitian Nurhadi punya jawaban yang lebih rinci. Kata dia, sampah di TPA ternyata tak sesuai dengan perhitungan awal. Timbunan organik berkurang banyak.
Salah satu penyebabnya, sampah sering dibuang tidak di zona yang sudah didesain untuk PLTSa. Akibatnya, aliran gas makin tidak stabil. Masalah makin pelik karena data sampah di TPA juga amburadul. Saat itu, timbangan belum ada. Catatan hanya berdasarkan volume truk dan jumlah kendaraan yang masuk.
Ribuan sapi yang bebas berkeliaran di TPA juga ikut nyumbang kegagalan. Mereka habisin sampah organik, padahal bahan itu penting buat hasilkan gas metana. PLTSa dengan metode gasifikasi sudah kadung gagal. Kini Pemkot Semarang berambisi bikin proyek baru dengan nama Pengolahan Sampah Energi Listrik (PSEL) dengan metode insenerator.
Akankah PSEL bisa jadi menjawab masalah sampah dan target energi terbarukan? Atau justru mengulang kegagalan proyek sebelumnya? (bae)