BACAAJA, PURWOREJO — Kasus siswa SMK Pembaharuan Purworejo, Jawa Tengah, lagi ramai banget nih di medsos.
Gara-gara belum bisa bayar uang sekolah, beberapa siswa nggak boleh ikut ujian bahkan diminta mengundurkan diri.
Ceritanya, sekolah di bawah Yayasan Pembaharuan itu ngeluarin surat resmi yang mewajibkan semua siswa harus melunasi biaya pendidikan paling lambat Sabtu (18/10/2025).
Kalau belum bayar, otomatis dianggap mundur dari sekolah.
Surat itu tertanggal 16 Oktober 2025 yang ditandatangani kepala sekolah Sugiri.
Dijelasin juga, siswa yang belum melunasi uang sekolah nggak boleh ikut Asesmen Sumatif Tengah Semester (ASTS) yang dijadwalkan Senin (20/10/2025).
Kasus ini mulai viral setelah Tri Wahyuni (55), orang tua salah satu siswa kelas XI bernama H (16), ngadu ke Balai Wartawan Purworejo.
“Anak saya udah datang ke sekolah, tapi malah disuruh duduk di perpustakaan, nggak boleh ikut ujian. Cuma duduk diam, nggak ngapa-ngapain,” cerita Tri, Jumat (17/10/2025).
Tri bilang, dia masih berusaha ngelunasin tunggakan Rp 4,5 juta, dan udah minta izin biar bisa nyicil. Tapi permintaannya ditolak.
“Saya minta kebijakan biar bisa dicicil, tapi sekolah nggak ngizinin. Malah disuruh cari pinjaman. Kurang Rp 100 ribu aja udah nggak boleh ikut ujian,” keluhnya.
Lebih parahnya, Tri juga sempat diingatkan buat nggak lapor ke media, karena katanya bisa bikin anaknya dikeluarkan.
H yang dikenal berprestasi —selalu juara kelas sejak kelas X— akhirnya milih nggak berangkat ke sekolah karena malu.
“Malu, terus mau ngapain ke sekolah?” ucap H pelan.
Dalih sekolah
Kepala SMK Pembaharuan, Sugiri, akhirnya buka suara dan mengakui adanya kebijakan itu.
Katanya, keputusan tersebut datang dari yayasan karena keuangan sekolah sedang sulit.
“Siswa yang belum bayar memang nggak boleh ikut ujian biar orang tua segera melengkapi administrasi. Kalau belum bisa, ya anaknya diistirahatkan dulu,” jelas Sugiri.
Tapi, saat ditanya soal orang tua dan siswa yang ngerasa dipaksa mundur, Sugiri belum kasih jawaban lebih lanjut.
Pihak Yayasan Pembaharuan, lewat pengurusnya Marjuki, bilang mereka sebenarnya udah kasih keringanan buat bayar secara bertahap.
“Siswa masih boleh ikut belajar, tapi buat ikut ujian ya harus lunas dulu,” katanya.
Setelah kasus ini viral, yayasan sempat bilang siap bikin ujian susulan buat siswa yang belum bayar.
Tapi belakangan malah muncul kabar kalau siswa-siswa itu bakal dikeluarkan dari sekolah.
Dinas Pendidikan turun tangan
Kebijakan ini langsung dikecam banyak pihak, termasuk pengawas dan pejabat pendidikan daerah.
Bani Mustofa, Pengawas MKKS SMK Purworejo, bilang keputusan sekolah itu terlalu ekstrem dan bisa merusak masa depan anak-anak.
“Seharusnya bisa cari solusi bareng. Kalau anak-anak sampai keluar, mereka jadi ATS (Anak Tidak Sekolah), dan itu malah nambah PR buat pemerintah,” tegasnya.
Sementara itu, Maryanto, Kepala Cabang Dinas Pendidikan Wilayah VIII Jawa Tengah, menegaskan kebijakan sekolah nggak bisa dibenarkan.
“Pendidikan itu hak dasar anak. Nggak boleh ada yang dilarang belajar cuma karena belum bayar. Urusan uang itu tanggung jawab orang tua, bukan anak,” ujarnya.
Maryanto juga memastikan kasus ini bakal ditindaklanjuti.
“Kami akan turun dan selidiki langsung,” tandasnya.
Kasus ini jadi pengingat kalau akses pendidikan harusnya nggak tergantung isi dompet orang tua.
Sekolah semestinya jadi tempat anak belajar, bukan tempat di mana mereka diukur dari kemampuan bayar.
Bagaimana menurut Sobat Bacaaja? Orang miskin susah bener mau sekolah. Padahal dengan pendidikan, mereka bisa keluar dari jerat kemiskinan. (*)