DEMO besar-besaran yang mengguncang Pati, Rabu (13/8/2025), dengan tuntutan turunkan Bupati Sudewo, bukan sekadar aksi panas musiman. Ini lebih mirip indikator cuaca politik: langit kelihatan cerah, tapi angin kencang sudah bikin pohon miring. Dan pohon itu adalah legitimasi Sudewo.
Di mata rakyat, legitimasi itu bukan cuma soal legalitas hasil Pilkada, tapi soal rasa percaya dan rasa “diwakili”. Ketika kebijakan kontroversial—macam kenaikan PBB 250%—meledak di tengah masyarakat, apalagi dengan komunikasi publik yang dinilai telat dan kaku, trust rakyat gampang luntur. Meski akhirnya kebijakan itu dibatalkan, luka psikologisnya keburu ada. Warga merasa kebijakan itu “tega” banget, apalagi di tengah situasi ekonomi yang belum pulih.
Di sinilah masalahnya: legitimasi rakyat itu sifatnya cair. Hari ini bisa setia, besok bisa pindah ke kubu oposisi kalau merasa dikhianati. Demo kemarin jelas menunjukkan kalau sebagian warga udah merasa kontrak sosialnya retak. Walaupun masih banyak yang diam, bukan berarti mereka setuju—bisa jadi cuma nunggu momentum berikutnya buat bersuara.
Di mata legislatif, ceritanya sedikit beda. DPRD nggak cuma ngukur dari sentimen publik, tapi juga dari aspek hukum dan prosedural. Hak Angket yang sekarang lagi digarap Pansus adalah sinyal bahwa hubungan eksekutif-legislatif lagi nggak harmonis. Pansus ini bukan sekadar forum curhat, tapi jalur resmi yang kalau dijalankan tuntas, ujungnya bisa sampai Mahkamah Agung dan Presiden.
Masalahnya, legitimasi di hadapan DPRD sifatnya lebih “keras kepala” karena diatur undang-undang. Selama belum ada putusan sah yang membuktikan pelanggaran berat, posisi Bupati masih aman di atas kertas. Tapi secara politik, begitu mayoritas fraksi sudah condong mendukung Hak Menyatakan Pendapat, ya itu tanda lampu kuning—bahkan mungkin oranye terang.
Jadi, di mana posisi Sudewo sekarang?
Di atas kertas, dia masih Bupati sah. Tapi di lapangan, dia lagi jalan di atas jembatan gantung yang talinya mulai aus. Satu langkah salah atau kebijakan yang dianggap mengabaikan suara publik bisa bikin talinya putus. Kalau dia bisa memanfaatkan sisa waktu buat memulihkan komunikasi dengan rakyat, mendekati tokoh-tokoh masyarakat, dan meredam gesekan dengan DPRD, masih ada peluang legitimasi itu diperbaiki.
Tapi kalau tidak, skenario “MA bilang terbukti” bukan lagi sekadar gosip politik. Ia bisa jadi babak baru dalam sejarah politik Pati—dan nama Sudewo akan tercatat, tapi bukan di halaman yang dia mau.
Di dunia politik lokal, legitimasi itu ibarat baterai HP. Sah secara hukum itu seperti HP yang masih hidup, tapi kalau baterainya tinggal 2%, notifikasi “low power” sudah muncul. Dan yang bahaya, rakyat dan DPRD sekarang sama-sama pegang colokan. Pertanyaannya: mereka mau nge-charge atau malah cabut kabelnya?(*)