PIDATO Presiden Prabowo di Sidang Umum PBB langsung jadi sorotan. Dari gaya “berapi-api” dengan tangan mengepal, sampai statement keras soal Palestina dan tawaran kontribusi Indonesia di level global, semua bikin perhatian dunia (dan rakyat Indonesia) tertuju padanya. Tapi, pertanyaan krusial muncul: apakah ini awal momentum emas buat Indonesia, atau sekadar janji manis yang akan pudar begitu sorotan kamera meredup?
Dalam jangka menengah (1–3 tahun), pidato ini jelas mengerek profil Indonesia. Bayangin, negara kita nggak cuma ngomongin kepentingan domestik, tapi berani pasang suara lantang soal isu global: Palestina, transisi energi, pangan, bahkan siap nyumbang pasukan perdamaian. Itu kayak upgrade status Indonesia dari “pemain figuran” jadi “cast utama” di panggung internasional. Media asing pun mulai mencatat nama Indonesia lebih sering. Tapi, ada PR besar: apakah janji-janji itu bisa diwujudkan?
Masalahnya, omongan tentang siap mengirim pasukan perdamaian atau dukungan pangan global bukan hal remeh. Itu butuh anggaran, regulasi, bahkan persetujuan politik. Kalau dalam setahun ke depan nggak ada follow-up nyata, reputasi Indonesia bisa jatuh. Dunia bakal bilang, “Indonesia cuma modal pidato.” Apalagi anak muda zaman sekarang makin melek politik luar negeri—narasi indah tanpa aksi bisa cepat viral jadi bahan nyinyiran.
Hubungan dengan negara lain jadi taruhan
Statement Prabowo soal Israel dan Palestina—Indonesia akan mengakui Israel kalau Israel duluan mengakui Palestina—kedengarannya diplomatis dan tegas. Tapi di satu sisi, itu bisa bikin sebagian negara Arab salut, sementara di sisi lain Israel dan sekutunya mungkin nganggep itu tekanan politik. Artinya, diplomasi di balik layar bakal sibuk banget: Kemenlu harus lincah kayak pemain futsal, cepat passing bola tapi juga jaga ritme.
Di dalam negeri, efeknya juga campur aduk. Bagi sebagian orang, pidato itu bikin bangga: “Wih, Presiden kita pede banget di PBB!” Tapi, masyarakat juga bakal nunggu bukti nyata. Kalau ada quick win, kayak misi medis ke Gaza atau bantuan pangan ke negara Afrika, citra positif makin kuat. Kalau nggak? Bisa jadi bahan kritik oposisi, apalagi di era medsos, “omdo” gampang banget jadi trending topic.
Sekarang mari lompat ke dampak jangka panjang (3–10 tahun). Kalau konsisten, Indonesia bisa beneran naik level: dari negara berkembang biasa jadi salah satu pemimpin Global South. Bayangin Indonesia dikenal bukan cuma karena Bali atau Gojek, tapi juga karena jadi juru damai dan penggerak solusi dunia. Itu branding yang nggak ternilai.
Tapi, kalau janji-janji besar itu gagal dieksekusi, reputasi kita bisa hancur. Negara lain bakal males denger “pidato keren” tanpa aksi nyata. Lebih parah lagi, Indonesia bisa dicap cuma numpang eksis di forum internasional. Jadi, intinya: pidato Prabowo ini kayak ngasih kita tiket masuk ke liga utama. Tapi, kalau setelah masuk ternyata mainnya cuma lari-lari tanpa gol, ya siap-siap jadi bahan bully internasional.
Jadi, apa kesimpulannya? Pidato Prabowo di PBB itu bisa jadi titik balik Indonesia, tapi juga bisa jadi jebakan. Semua tergantung eksekusi: roadmap jelas, diplomasi intensif, dan hasil nyata. Dunia udah kasih spotlight, sekarang tinggal apakah Indonesia bisa terus main dengan taktik matang atau sekadar tampil sekali lalu hilang dari radar.(*)