BACAAJA, JAKARTA – Suasana Gedung Nusantara I DPR RI di Senayan, Jakarta, Rabu (24/9/2025), terasa lebih hangat dari biasanya. Dalam agenda Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Komisi VI DPR RI menghadirkan sederet pakar hukum dari UI, UGM, Universitas Jenderal Soedirman, hingga STIH IBLAM. Topiknya: revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN.
Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, jadi salah satu suara paling lantang. Ia menegaskan, jajaran direksi, komisaris, dan pihak terkait di BUMN bukan sekadar pejabat korporasi biasa, melainkan penyelenggara negara. Konsekuensinya, mereka wajib tunduk pada pengawasan publik, termasuk audit BPK dan pemeriksaan KPK.
“Tidak ada alasan pejabat BUMN dikecualikan. Itu sudah jelas diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999, UU Nomor 31 Tahun 1999, serta UU Nomor 25 Tahun 2009,” tegas politisi PDI-Perjuangan ini.
Hapus Multitafsir, Perkuat Kepastian Hukum
Menurut Rieke, norma hukum dalam regulasi BUMN masih multitafsir. Ada yang beranggapan pejabat BUMN bisa diaudit BPK, tapi dengan syarat tertentu. Bahkan, ada tafsir lain yang menyebut mereka tidak bisa disentuh KPK.
“Padahal norma hukum seharusnya tidak multitafsir. Kalau multitafsir, yang rugi ya publik,” ujarnya.
Ia mendorong revisi UU BUMN agar konsisten dengan politik hukum nasional yang menekankan pemerintahan bersih, transparan, dan berintegritas—selaras dengan arahan Presiden Prabowo Subianto.
Kasus Kereta Cepat Jadi Sorotan
Rieke juga menyinggung persoalan klasik: apakah kerugian BUMN otomatis bisa dianggap sebagai kerugian negara. Ia mencontohkan proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung. Proyek ini awalnya dinilai tidak layak, tapi akhirnya dibebankan ke BUMN pelaksana.
“Pertanyaannya, apakah setiap kerugian BUMN harus otomatis jadi tanggung jawab negara? Kalau iya, ini akan jadi masalah besar,” kata Rieke.
Jangan Baper Politik
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Nurdin Halid, mengingatkan publik agar tidak memandang revisi UU BUMN sebagai agenda politik semata. Menurutnya, revisi ini murni strategi memperkuat kelembagaan BUMN agar dampaknya lebih besar pada kemakmuran rakyat.
“Revisi ini jangan dianggap politis. Ini justru untuk memastikan BUMN benar-benar bekerja optimal sesuai Pasal 33 UUD 1945,” jelas politisi Golkar itu.
Salah satu poin yang jadi sorotan adalah posisi Kementerian BUMN. Nurdin menjelaskan, ada usulan agar kelembagaan kementerian ini berdiri mandiri sebagai organ penyelenggara negara. Perubahan ini tentu menuntut penyesuaian sejumlah pasal dalam undang-undang.
Tak hanya anggota DPR, para akademisi yang hadir juga memberi masukan kritis. Mereka sepakat, kejelasan status pejabat BUMN sebagai penyelenggara negara memang krusial. Dengan begitu, pengawasan hukum publik bisa berjalan lebih tegas, tanpa celah multitafsir yang bisa dimanfaatkan untuk lolos dari jeratan hukum.
Jalan Panjang Revisi UU BUMN
Meski belum rampung, pembahasan revisi UU BUMN ini jelas jadi momen penting. Dari perdebatan soal status direksi-komisaris hingga peran Kementerian BUMN, semua bermuara pada satu hal: bagaimana menjaga kekayaan negara tetap transparan, akuntabel, dan memberi manfaat maksimal bagi rakyat.
Seperti kata Rieke di ujung rapat, “BUMN tidak bisa dipisahkan dari rezim pejabat negara. Karena itu, direksi dan komisaris harus siap tunduk pada aturan main hukum publik. Kalau memang untuk rakyat, apa yang perlu ditakutkan?”(*)