BACAAJA, SEMARANG – Ada satu doa pendek yang sering disebut sebagai zikir paling dahsyat saat hati benar-benar terhimpit. Doa itu lahir bukan dari ruang biasa, melainkan dari tempat yang tak pernah kita bayangkan: perut seekor paus raksasa. Doa Nabi Yunus AS.
Kisah ini diabadikan dalam Al-Qur’an, dan hingga sekarang masih membuat bulu kuduk merinding setiap kali kita merenungkannya. Bagaimana mungkin seorang manusia bisa selamat setelah ditelan paus? Jawabannya ada pada doa yang penuh penyesalan, penuh ketundukan, dan penuh pengakuan atas kelemahan diri.
Saat itu, Nabi Yunus diutus untuk berdakwah kepada penduduk Ninawa. Namun, kaumnya keras kepala, menolak ajaran tauhid, dan terus mengejeknya. Merasa lelah, ia meninggalkan mereka tanpa menunggu izin dari Allah. Inilah awal perjalanan penuh ujian yang Allah siapkan.
Perahu yang ia naiki diterjang badai. Untuk menyelamatkan kapal, penumpang mengundi siapa yang harus dilempar ke laut. Nama Yunus muncul. Ia pasrah, lalu dilemparkan. Dan di situlah, seekor paus besar menelannya hidup-hidup.
Bayangkan suasana itu. Gelap gulita, sempit, tanpa udara bebas, tanpa cahaya sedikit pun. Di situlah Nabi Yunus tersadar. Ia tak bisa lari. Ia tak bisa mengandalkan siapa pun. Ia hanya punya Allah.
Di dalam perut paus, beliau pun berdoa:
لَا إِلٰهَ إِلَّا أَنْتَ سُبْحَانَكَ إِنِّي كُنْتُ مِنَ الظَّالِمِينَ
Laa ilaaha illaa anta subhaanaka innii kuntu minazh-zhaalimiin.
“Tiada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, sungguh aku termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Anbiya: 87).
Doa ini sederhana, tapi isinya luar biasa. Ia menggabungkan tiga hal: pengakuan bahwa hanya Allah satu-satunya Tuhan, pengagungan atas kesucian Allah, dan pengakuan jujur atas kesalahan diri.
Ulama menafsirkan doa ini sebagai zikir mustajab, doa yang Allah cintai. Rasulullah SAW sendiri pernah bersabda bahwa siapa pun yang berdoa dengan doa Nabi Yunus, maka Allah akan mengabulkannya.
Dan benar, Allah mengampuni Yunus. Paus itu pun memuntahkannya ke daratan. Tubuhnya lemah, kulitnya rusak, tapi Allah menumbuhkan pohon labu untuk meneduhkan dan menyembuhkannya. Setelah pulih, ia kembali berdakwah. Kali ini, kaumnya beriman dan Allah menyelamatkan mereka dari azab.
Doa Nabi Yunus bukan hanya kisah masa lalu. Ia relevan untuk kita sekarang. Saat terjebak dalam masalah, saat merasa gelap tanpa jalan keluar, doa ini menjadi cahaya. Bukan sekadar kata-kata, tapi sebuah pengakuan bahwa kita tidak bisa apa-apa tanpa Allah.
Para ulama menyebut, membaca doa ini di saat sulit bisa mendatangkan pertolongan Allah. Sebab inti dari doa ini adalah kejujuran hati: mengakui salah, kembali kepada-Nya, dan percaya hanya Allah yang bisa menolong.
Kisah Yunus juga mengajarkan kesabaran. Ia terburu-buru pergi, lalu Allah memberinya pelajaran. Dari situ, kita belajar bahwa waktu terbaik adalah waktu yang Allah tentukan, bukan waktu yang kita inginkan.
Nabi Yunus menunjukkan bahwa bahkan dalam “kegelapan tiga lapis” — gelapnya malam, gelapnya laut, dan gelapnya perut paus — doa tetap bisa menembus langit.
Kisah ini bukan sekadar sejarah. Ini adalah pesan bahwa seberapa pun kita merasa terjebak, masih ada jalan pulang. Dengan doa, dengan taubat, dan dengan kembali percaya penuh kepada Allah.
Maka, doa Nabi Yunus yang pernah ditelan paus tetap menggetarkan hingga kini. Ia adalah pengingat bahwa tidak ada kegelapan yang lebih kuat daripada cahaya doa, dan tidak ada kesalahan yang lebih besar daripada ampunan Allah. (*)